Bukan hal yang mudah untuk benar-benar bisa menghormati gurumu, terutama ketika posisimu sebagai murid. Guru memang manusia, wajar jika mereka salah, wajar jika mereka memiliki kekurangan, tapi tak wajar jika kita sebagai murid membesarkan kesalahan atau kekurangannya. Justru segala kesalahan dan kekurangannya itu seharusnya bisa menjadi pelajaran tambahan yang tak sengaja mereka berikan untuk kita.
Nasehat dan perkataan mereka kita acuhkan, padahal itu bentuk kepeduliannya pada kita. Ketegasan dan kedisiplinan mereka kita benci, tanpa kita sadari itu bentuk rasa sayangnya pada kita. Kebaikannya mudah kita lupakan, tapi keburukannya mengisi penuh pikiran kita. Kesalahan kita mudah mereka maafkan, tapi tak mudah bagi kita memaklumi kesalahan mereka.
Suasana ruangan kantor itu cukup sepi, hanya ada bunyi ketikan keyboard yang terdengar. Satu-satunya penghuni ruangan itu memfokuskan dirinya pada laptop yang ada dihadapannya. Sesaat kemudian, tepat pukul satu siang, handphonenya berdering menunjukkan sebuah remainder. Dia pun segera menutup laptopnya dan keluar dari ruangan itu.
“Ehm. Apa pekerjaan anda sudah selesai hingga anda lebih memilih menekuni majalah itu?” Katanya begitu melewati salah satu pegawainya yang tengah santai.
“E.. Mm..maaf pak.” Ucap karyawan tadi gugup.
“Majalah ini saya sita sampai jam pulang nanti.” Ujarnya tegas sambil berlalu pergi dari karyawannya tadi. Di tengah langkahnya, tiba-tiba pikirannya berputar ke masa lalunya, ke sebuah kenangan yang membawa hidupnya sesukses sekarang.
************
“Deva! Apa yang kamu simpan di laci meja kamu?” Seru seorang lelaki berseragam biru dongker sambil melangkah mendekati anak yang dipanggilnya tadi. “Apa di majalah kamu itu ada rumus cepat menghitung limit trigonometri sehingga kamu lebih memilih menyimak buku itu dibandingkan saya?”
Anak yang ditegur hanya menggeleng santai tanpa menunjukkan rasa bersalah atau menyesal sedikitpun.
“Baik, majalah kamu saya simpan sampai jam pulang nanti!” Katanya sambil melangkah kembali ke mejanya.
Deva memang menjadi anak yang sangat terkenal dengan kenakalannya. Semua guru, penjaga kantin, siswa, bahkan petugas bersih-bersih sekolah mengenalnya. Banyak guru yang semakin acuh dengan sikapnya yang tak pernah kenal jera dengan segala bentuk hukuman yang mereka berikan. Satu-satunya guru yang tidak pernah lelah menghukum, menegur, atau menasehatinya hanya Pak Herman, guru matematika sekaligus wali kelasnya.
“Bapak harap majalah ini ga pernah muncul lagi di kelas matematika saya, atau pun guru lain. Saya tau ini kesalahan sepele, tapi kamu sudah terlalu banyak melanggar peraturan sepele seperti ini, jadi saya enggak akan lengah lagi sekecil apapun peraturan yang kamu langgar.” Pak Herman menghela nafas sejenak. “Kamu sudah kelas tiga nak, ujian sudah dihadapanmu. Kamu pasti ga mau jadi orang yang gagal kan?” Deva menggeleng kecil, namun Pak Herman sendiri tak yakin perkataannya tadi benar-benar dicerna otaknya sehingga beliau ikut bergeleng putus asa. “Baik, jadi hukuman kamu kali ini, kamu harus mengikuti pelajaran tambahan dua jam setelah pelajaran berakhir setiap hari selama sebulan.”
“Hah?! Tapi kan saya punya kegiatan lain pak, saya juga-”
“Saya belum selesai bicara Deva! Saya sudah mengamati nilai-nilai ulangan kamu di pelajaran lain. Semoga setelah ini kamu bisa mendapat nilai yang lebih baik dengan hasil pikiran kamu sendiri. Sekarang silahkan kamu keluar, dan berikan surat ini ke orang tua kamu.” Deva pun segera pergi dengan raut wajah kesal. “Semoga Tuhan segera memberikan kamu petunjuk.” batin Pak Herman sambil menatap punggung Deva.
Sejak saat itu selama sebulan penuh Pak Herman berusaha keras mengajar muridnya itu. Tapi perjuangan sebenarnya bukan hanya sekedar mengajar Deva, Beliau juga tak jarang harus berlari keliling sekolah untuk mencarinya, atau terpaksa mendapat kejutan kecil seperti terkunci di toilet ketika jam mengajarnya dan banyak hal lain yang terkadang harus membuat dia mengeluarkan amaranya. Biarpun begitu, tak jera Pak Herman untuk menjadikan anak muridnya ini benar-benar berhasil. Doa pun tak pernah lupa Beliau ucapkan di tengah ibadahnya.
“Permisi Pak..”
“Deva? Dalam rangka apa kamu berkunjung ke rumah saya malam-malam begini?” tanya Pak Herman setengah terkejut dengan kedatangan Deva. “Oh iya, mari masuk sini.” Sambungnya begitu menyadari posisi Deva yang masih berada di luar terasnya.
“Sebenarnya saya kesini mau nganter ini Pak.” Kata Deva setelah mereka telah berada di ruang tamu. Sebuah bungkusan diberikannya kepada Pak Herman seiring dengan ucapannya.
“Astaga, sebenernya saya tidak mengharapkan ini Dev, kamu benar-benar berubah saja sudah menjadi suatu kebahagiaan buat saya.”
“Selain itu, saya juga mau minta tolong sama Bapak.” Ucap Deva dengan wajah serius, Pak Herman menatapnya seolah bertanya –apa? “Saya mau les privat sama Bapak sampai UN dan UMPTN nanti.”
“Bagus, saya bangga dengan kamu. Dengan senang hati saya akau membantu kamu.”
Sejak saat itulah Deva berubah menjadi sosok baru, walaupun sifat nakalnya tak bisa hilang sepenuhnya. Berkat bantuan Pak Herman juga Deva akhirnya bisa lulus Ujian Nasional dengan nilai yang membanggakan serta berhasil masuk sebuah Universitas Negri yang cukup terkenal.
Tak terbayang oleh Deva jika dulu akhirnya tak ada satu guru pun yang benar-benar peduli dengan sikapnya yang selalu menjengkelkan, jika dulu Pak Herman tak berniat menghukumnya hanya karena kesalahan sepelenya, dan jika dulu Pak Herman jera karena sikapnya yang semakin menjengkelkan selama menjalani hukuman. Dia tak akan pernah mendapatkan semua yang telah dimilikinya saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar